A. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan
namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1) F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2) Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3) Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu
Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip
Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah
yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas
yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang
substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan
yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk
berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar
pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan
pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban
serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang
sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas.
Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent
Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil
keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah
senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia[1].
B.Aspek Otonomi Daerah
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada
prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1) Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
2) Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan
nasional.
3) Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan
menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan
pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang
kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban
harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya
wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri,
menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan
sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23
Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1) Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijaksanaan sendiri
2) Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3) Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4) Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang
dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat
pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun
daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi
antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi,
dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih
oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih
lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya
terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk
berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan
bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas
yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah
dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
terbatas.
b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi
yang terbatas.
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga
tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g) Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai
wakil daerah.
h) Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah
kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987)
mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a) Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat
diseluruh tanah air Indonesia.
b) Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam
bidang perekonomian[2].
D. Hakikat Otonomi Daerah
Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering
digunakan secara campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana
didefinisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya
pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada
pemerintah atau perwakilan d daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”.
Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang
kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan
politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut
sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun
normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih
desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik[3].
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung
dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara
langsung.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang
dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi
otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi
daerah harus diarahkan pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi
dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial
dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta,
bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang kondusif dalam mendorong
masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan
kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration,
delegtion to semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local
governments, dan nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya
berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan
regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki
soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur
asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal
pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan
federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai
kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif
teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan
bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu
kemustahilan[4].
E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 29
(dua) jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta
3(tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propnsi, kabupaten/kota besar dan
desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang
cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip
atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud
tersebut diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang
digunakan oleh para ahli untuk memahaminya. Istilah-istilah itu antara lain
sistem, paham, ajaran, pengertian.
Adapun mengenai faham atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang
mengenal ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi
materiil dan faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua
istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele
huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele
huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal
yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian
Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah
Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah
Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas
tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang
–Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya
meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang
pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam
rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada
perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan
sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh
pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada
prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula
sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional
dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang
diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa
kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri
daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah
yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari
urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing[5].
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas
dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam
daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan
dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan
darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja
dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada
penjelasdan secara eksplisit[6].
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi
kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk
berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya
khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di
propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan
Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun
1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah
Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga
apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU
nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April
1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita
harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur
batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri
dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya
daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam
undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau
kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak
memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang
telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya
kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atau ajaran materiil.
Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut
otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan
kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom
dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah
pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU
tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi:
“Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur
didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah
atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa.
Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua system rumah tangga yaitu formil dan
materil. Hanya saja karena sifat-sifat system materiil lebih menonjol maka
namyak yang beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja
Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat
yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur),
dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan
sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun
1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi
riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut.
(Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada
pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah
tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada
peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam
peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus
oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan
dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat
daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III
setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat
diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil
jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun
1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya
sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti
telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan
bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system
otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden
Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI
kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui
dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam
peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan
bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II
sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi
sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai
Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun
1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga
menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya
banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi
daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara
kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang
pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun
1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974
tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini
menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau
faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan
secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas
dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas
desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya,
melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan
ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata
dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut
untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan
rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU
terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan
kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang
setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi
yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut
system atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan
ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila
materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan
daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara
gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat
mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada
pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan
yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974
dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki
antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan
kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan
rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan
bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota
serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota.
Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang
tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota
mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan
dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau
danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah
tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9
dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah
tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material.
Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal
10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota
memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di
wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan
perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system
atau ajaran rumah tangga formil[7].
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia
merupakan terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa
dengan mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah,
tapi sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia.
Dalam konteks itu otonomi daerah adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen
antara pusat dan daerah. Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah
berjalan sampai hari ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan.
Hubungan antara kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya
sentimen kedaerahan dibanding keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi
daerah belum mampu menyerap keragaman dalam keindonesiaan.
Sumber utama dari belum mampunya otonomi daerah menjembatani kedaerahan dan
keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara
pusat dan daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik
belum banyak menciptakan keadaan lebih baik dibanding sistem pemerintahan yang
terpusat sebelumnya.
Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi
publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja
otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik,
atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan
menjadi semkin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan
pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.
Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan
keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus
kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan
secara sistemik dengan otonomi daerah.
Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan
karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang
kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI.
Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah
bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan
nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan
menggali sumber pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap
mekanisme pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya otonomi daerah untuk
memudahkan pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada di Indonesia.
Dalam otonomi daerah terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah, Adapun
tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik temu
antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi
menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan
dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI.
SUMBERNNYA DARI MANA YA?
BalasHapussumbernya dari mana ya?
BalasHapussumbernya dari mana ya?
BalasHapus