A.
Sejarah dan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai Otonomi Daerah perlulah kita mengetahui apakah
sebenarnya Otonomi Daerah itu. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Otonomi Daerah sebagaimana dikandung dalarn UU No. 22/1999, adalah
usaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi,
sosial-budaya dan politik di wilayahnya. Dua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa Otonomi Daerah adalah merupakan pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurusi masalah rumah
tangganya sendiri yang disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Pemerintah
pusat hanyalah memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang ada
di daerah masing-masing.
Upaya serius
untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian
rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan
Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi
tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa
pilihan yaitu :
- Melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah,
- Pembentukan negara federal, atau
- Membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa
ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru
untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan
prinsip undang-undang sebelumnya antara lain.
- Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
- Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
- Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
- Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
- Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
- Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
- Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
- Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
- Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
- Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
- Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
- Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
- Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
- Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
Semua
perubahan yang dijelaskan dalam beberapa komponen di atas semuanya bertujuan
untuk memaksimalkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
mengoptimalkan hubungan tersebut maka aspirasi masyarakat yang akan disampaikan
kepada pemerintah akan dapat tersampaikan dengan baik sehingga upaya pemerintah
untuk memenuhi aspirasi masyarakat dapat terpenuhi. Dengan demikian diharapkan
adanya transparansi antara pemerintah pusat dan daerah, supaya tujuan Bangs
Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 dapat tercapai
serta pemerataan pembangunan diseluruh wilayah indonesia dapat tercapai sesuai
dengan sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Sagi Bagi Seluruh
Bangsa Indonesia”. Selain itu mutlak pula diperlukan dukungan dari seluruh
rakyat Indonesia untuk mengawasi jalannya pemerintahan supaya tidak terjadi
penyelewengan seperti yang terjadi pada masa sekarang ini.
B.
Dampak Diterapkannya Otonomi Daerah
- Dampak Positif
Dampak
positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah
daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada
di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di
daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata
Dengan
melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat
sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cinderung lebih menegeti
keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya
daripada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang
dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian
penduduk disana tidak bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu,
maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras meskin tersebut untuk
membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain
itu, denga system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, yanpa harus melewati prosedur
di tingkat pusat.
- Dampak Negatif
Dampak
negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugika Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada
kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang
dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya,
atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti
Pornografi di tingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi
daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan
di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat
peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Otonomi
daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu
perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi pariwtsata,
maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul persaingan
bisnis antar daerah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang
terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan
pembangunan sedangkan daerah pendapatannya kurang akan tetap begitu-begitu saja
tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan karena ini sudah
melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar